Sistem Pemerintahan Tradisional Masyarakat Bugis Makassar
Dilihat dari bawah, para anggota bangsawan semuanya dianggap sebagai ana’ karaeng (anak raja), tetapi di kalangan bangsawan sendiri dilakukan pembedaan yang sangat teliti. Unsure patrilinier dan matrilinier kedua-duanya berlaku. Setiap anak yang ayahnya bangsawan adalah bangsawan juga, apapun kelas ibunya, akan tetapi, di kalangan bangsawan tinggi tingkatan ditentukan oleh kelas sang ibu. Tingkatan tertinggi, ana’ matola atau anak patola, adalah anak-anak perempuan keturunan bangsawan asli. Tingkatan terendah di kalangan bangsawan adalah anak-anak yang ibunya adalah orang bebas, atau budak, mereka dikenal sebagai ana’ cera’. Di antara kedua tingkatan itu, dalam keanekaragaman peringkat yang hamper tidak terhitung, adalah anak-anak yang kedua orangtuanya dari kalangan bangsawan akan tetapi salah seorang, atau kedua-duanya bukan ana’ matola. Raja dan kepala-kepala yang penting lainnya dapat saja laki-laki atau perempuan, tetapi haruslah ana’ matola.
Para pemimpin utama kerajaan seringkali adalah sanak keluarga dekat raja, yang tingkatannya sama tinggi atau hamper sama tinggi dengan sang penguasa sendiri. Dalam beberapa hal mereka ini adalah penguasan bagian wilayah kerajaan atau kerajaan bawahan, dalam hal lain mereka tampak mempunyai fungsi riil sebagai bagian dari kelompok kerajaan. Para pemimpin senior ini merupakan hadat, yaitu dewan yang fungsi utamanya ialah member nasehat kepada raja dan membantunya dalam memecahkan persengketaan, tetapi juga mempunyai kekuasaan besar dalam pemilihan dan penurunan seorang raja.
Sekalipun raja yang sedang memerintah mempunyai pengaruh besar dalam menetapkan seorang pengganti, hadat inilah yang secara formal menegaskan pilihan tersebut. Menurut tradisi, sifat-sifat seorang raja yang dikehendaki adalah bahwa ia (laki-laki atau perempuan) haruslah jujur, mampu, murah hati dan berani. Ada kepercayaan umum bahwa sifat-sifat semacam itu diwarisi, dan dengan demikian didapati terutama sekali di kalangan kaum bangsawan tertinggi, golongan ana’ matola, sekalipun hadat mengakui bahwa ada raja kemungkinan determinisme genetika mereka salah dalam menilai kualitas kepemimpinan. Tentulah seorang calon dari keturunan murni akan mendapat perhatian utama, karena kewibawaan orang semacam itu akan kurang dipertanyakan jika dibanding dengan kewibawaan seseorang yang berderajat lebih rendah, betapapun bijaksana atau beraninya.
Seseorang yang berhak menjadi raja karena keturunan, yang ditunjuk demikian oleh penguasa sebelumnya, dan yang memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan yang diharapkan, dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kekayaan, wilayah, dan kekuasaan kerajaan. Seseorang yang kekurangan satu di antara persyaratan ini mungkin sekali harus memusatkan diri pada usaha mempertahankan kedudukannya terhadap orang lain yang berdarah lebih murni, atau lebih bersemangat, yang juga menyatakan berhak atas tahta.
Bagaimanapun, keberhasilan akan bergantung untuk sebagian besar pada hubungan penguasa dengan para pemimpin bawahan atau pada kemampuannya menghimpun jumlah pengikut yang cukup besar, yang kesetiaannya dapat diandalkan oleh penguasa tersebut. Dalam beberapa kejadian kelompok keluarga penguasa merupakan inti dari pengikut. Akan tetapi karena ada persaingan untuk kedudukan dalam kelompok keluarga tersebut, para anggota yang dipandang berstatus hampir sama dan karena perluasan kekuatan memerlukan jumlah pengikut yang lebih besar, maka seorang penguasa karena kebutuhan akan berpaling ke luar lingkungan keluarga. Salah satu cara untuk mendapatkan pengikuti yang setia adalah memberi tanah kedudukan.
Teknik-teknik kepemimpinan tradisional lain yang dikenal, yang dapat digunakan baik untuk menghimpun pengikut maupun dalam proses memerintah yang sebenarnya, digambarkan sebagai: bujuk, justai, dan pukul. Bujuk atau pujian, harus yang pertama-tama dicoba, kalau ini gagal, berikan janji, mungkin kedudukan tinggi boleh ditawarkan tetapi tidak perlu dipenuhi. Dan akhirnya, bagi mereka yang menolak bujukan, kekerasan dapat diterapkan untk mendatangkan hasil yang diingini. Tetapi yang tersebut belakangan harus diterapkan dengan hati-hati, sebab seorang lawan yang terdesak sampai ke satu sudut akan lebih menyukai kematian daripada kompromi, ini karena menyerah dipandang sebagai aib yang tidak tertanggungkan.
Kaum bangsawan dari tingkatan lebih rendah memerintah satuan-satuan bawahan kerajaan, atau menjadi anggota pengikut pribadi penguasa. Ada keluwesan yang cukup besar dalam komposisi wilayah kerajaan. Sekalipun batas-batas satuan tertentu, atau “wilayah inti”, mungkin ditetapkan cukup tepat, para pemimpin wilayah bawahan ini, terutama yang terletak di perbatasan antara kerajaan-kerajaan besar, mungkin saja mengalihkan kesetiaan mereka kepada penguasa lainnya yang menurut anggapan mereka lebih mampu memberikan kedamaian bahkan perlindungan, atau kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan petualangan. Karena kekeluargaan diperhitungkan secara bilateral, dan karena terjadi banyak hubungan perkawinan di kalangan bangsawan Sulawesi Selatan, kebanyakan pemimpin sedikit banyak bersaudara satu sama lain, dan juga dengan para pemimpin yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, dengan pemimpin bawahan atau dengan para pengikut, seringkali diperkuat dengan perkawinan, dan perkawinan itu sendiri merupakan ungkapan formal dari hubungan yang sederajat atau lebih rendah dari pihak-pihak yang terlibat.
Hierarki para pemimpin dan kerajaan ini berada di atas masyarakat desa, dan dianggap telah berkembang daripadanya. Desa-desa tampaknya mula-mula dihuni oleh para anggota dari satu kelompok keluarga, yang bersama memuja suatu hiasan, atau barang, yang dipandang mengandung kekuatan gaib dan diwarisi dari para leluhur yang mula-mula memilikinya. Kepercayaan pada kekuatan gaib pusaka keluarga itu merupakan suatu pusat pemersatu untuk kelompok keluarga itu. Dan kepercayaan pada kekuatan gaib tempat-tempat tertentu seperti gua, pegunungan, puncak gunung, pohon, telaga memberikan kohesi spiritual kepada masyarakat desa itu ketika orang-orang yang bukan keluarga pindah ke daerah tersebut. Tampaknya, telah terjadi migrasi intern yang cukup besar dalam daerah Bugis dan Makassar, dan tidak hanya orang-orang asing masuk ke dalam desa yang sudah ada, melainkan kelompok-kelompok penduduk desa akan memisahkan diri dari permukiman induk dan mendirikan desa bawahan di dekatnya. Setiap masyarakat desa memilih pemimpinnya sendiri, biasanya dari keturunan pendiri desa. Hubungan dipertahankan antara permukiman asal dan permukiman yang kemudian timbul daripadanya, secara keseluruhan hal ini kelak mungkin merupakan inti suatu kerajaan kecil.
Mungkin mula-mula sebagai sarana untuk menyelesaikan persengketaan antara satuan-satuan yang berdekatan, atau sebagai pertahanan terhadap gangguan dari kelompok-kelompok yang lebih jauh dan lebih kuat, maka para pemimpin satuan lalu membentuk suatu dewan yang berkuasa, yaitu hadat dan selanjutnya para pemimpin ini memilih di antara mereka seorang penguasa konfederasi. Tiap satuan tetap mempunyai otonomi cukup besar dalam mengatur urusan mereka sendiri, dan kekuasaan kepala federasi itu sangat bergantung pada hubungannya dengan para pemimpin bawahan dan pada kewibawaan pribadinya.
Hubungan berdasar perjanjian antara penguasa dan rakyat ditandai dengan sumpah yang diambil dalam upacara penobatan, atau dalam upacara-upacara yang lebih sering untuk masa tanam dan masa panen. Dalam upacara penobatan, hadat biasanya bertindak sebagai wakil rakyat. Pada pokoknya, penguasa berjanji untuk memberikan keadilan dan perlindungan terhadap lawan dan kelaparan, yakni sebagai imbalan bagi kesetiaan rakyat dan atas kesediaan mereka membajak dan memanen tanahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar