Laman

Kamis, 29 Maret 2012

Fenomena Alam Aneh, Badai Salju Hantami Sumatra Barat


REPUBLIKA.CO.ID, PADANG---Meski termasuk negara tropis, ternyata Indonesia pun bisa mengalami badai salju. Tidak percaya? Itulah yang terjadi ketika puluhan rumah warga mengalami kerusakan akibat dihantam badai salju yang melanda Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar). "Badai salju melanda Kabupaten Sijunjung pada Rabu (28/3) sekitar pukul 20.00 WIB mengakibatkan puluhan rumah mengalami kerusakan, "kata Kabid Penanggulangan Bencana BPBD Sumbar Ade Edwar di Padang, Kamis (29/3).
Menurutnya, berdasarkan data sementara diperoleh BPBD Sumbar, dimana 48 unit rumah atapnya beterbangan, dua unit rumah hancur berantakan. "Selain puluhan rumah warga rusak, badai salju juga merusak beberapa unit bangunan Sekolah Dasar (SD), tiga lokal belajar dan beberapa atapnya beterbangan, serta satu unit rumah dinas sekolah," katanya.
Dia menambahkan, badai salju yang melanda Kabupaten Sijunjung itu tidak menimbulkan korban jiwa, hanya mengalami kerugian materil. "BPBD masih melakukan penghitungan berapa kerugian harta benda ketika badai salju itu,"katanya.
Dia mengatakan, badai salju yang melanda Kabupaten Sijunjung hingga merusak puluhan rumah tersebut merupakan yang pertama kali terjadi di Sumbar. "Badai salju ini tidak pernah terjadi, ini merupakan pertama kali terjadi di Sumbar,"katanya.
Menurutnya, warga yang rumahnya mengalami kerusakan akibat dihantam badai salju telah dievakuasi ke tempat yang dirasakan aman. "BPBD telah mendirikan berapa unit tenda darurat bagi warga yang mengungsi, sementara itu bantuan akan segera dikirimkan,"katanya.
Dia menambahkan, untuk sementara aktivitas warga yang berada di Kabupaten Sijunjung masih belum pulih akibat badai salju yang melanda. "Masyarakat Kabupaten Sinjunjung masih merasakan khawatir jika badai salju susulan kembali terjadi, mereka berharap pemeerintah cepat memberikan bantuan,"katanya.

Selasa, 27 Maret 2012

Rieke Diah Pitaloka : SBY Untung Rakyat Buntung

Rieke Diah Pitaloka : SBY Untung Rakyat Buntung
Saya Rieke Diah Pitaloka, sekedar mengingatkan 13 hari lagi adalah keputusan kenaikan harga BBM. Salah satu argumen SBY, kenaikan tersebut adalah untuk menyelamatkan APBN supaya tidak jebol.

Berikut saya sampaikan data yang tidak pernah SBY sampaikan kepada rakyat, hitungan yang sesungguhnya bahwa dengan tidak mengurangi subsidi dan tidak menaikan harga BBM sebetulnya APBN tidak jebol.

Berikut ini data yang saya kompilasi dari berbagai sumber, terutama dari para ekonom yang tidak bermahzab neolib!

Indonesia menghasilkan 930.000 Barel/hari, 1 Barel = 159 liter
Harga Minyak Mentah = 105 USD per Barel
Biaya Lifting + Refining + Transporting (LRT) 10 USD per Barel
= (10/159) x Rp.9000 = Rp. 566 per Liter
Biaya LRT untuk 63 Milyar Liter
= 63 Milyar x Rp.566,- = Rp. 35,658 trilyun
Lifting = 930.000 barel per hari,
atau = 930.000 x 365 = 339,450 juta barel per tahun
Hak Indonesia adalah 70%, maka = 237,615 Juta Barel per tahun
Konsumsi BBM di Indonesia = 63 Milyar Liter per tahun,
atau dibagi dengan 159 = 396,226 juta barel per tahun
Pertamina memperoleh dari Konsumen :
= Rp 63 Milyar Liter x Rp.4500,-
= Rp. 283,5 Trilyun
Pertamina membeli dari Pemerintah
= 237,615 Juta barel @USD 105 x Rp. 9000,-
= Rp. 224,546 Trilyun
Kekurangan yang harus di IMPOR
= Konsumsi BBM di Indonesia – Pembelian Pertamina ke pemerintah = 158,611 Juta barel
= 158,611 juta barel @USD 105 x Rp. 9000,-
= Rp. 149,887 Trilyun
KESIMPULAN: ?

Pertamina memperoleh hasil penjualan BBM premium sebanyak 63 Milyar liter dengan harga Rp.4500,- yang hasilnya Rp. 283,5 Trilyun.
Pertamina harus impor dari Pasar Internasional Rp. 149,887 Trilyun
Pertamina membeli dari Pemerintah Rp. 224,546 Trilyun
Pertamina mengeluarkan uang untuk LRT 63 Milyar Liter @Rp.566,-
= Rp. 35,658 Trilyun
Jumlah pengeluaran Pertamina Rp. 410,091 trilyun
Pertamina kekurangan uang, maka Pemerintah yang membayar kekurangan ini yang di Indonesia pembayaran kekurangan ini di sebut “SUBSIDI”
Kekurangan yang dibayar pemerintah (SUBSIDI) = Jumlah pengeluaran Pertamina dikurangi dengan hasil penjualan Pertamina BBM kebutuhan di Indonesia
= Rp. 410,091 trilyun – Rp. 283,5 Trilyun
= Rp. 126,591 trilyun
Tapi ingat, Pemerintah juga memperoleh hasil penjualan juga kepada Pertamina (karena Pertamina juga membeli dari pemerintah) sebesar Rp. 224,546 trilyun. Catatan Penting: hal inilah yang tidak pernah disampaikan oleh Pemerintah kepada masyarakat.
Maka kesimpulannya adalah pemerintah malah kelebihan uang, yaitu sebesar perolehan hasil penjualan ke pertamina – kekurangan yang dibayar Pemerintah (subsidi)
= Rp. 224,546 Trilyun – Rp. 126,591 Trilyun
= Rp. 97,955 Trilyun
Artinya, APBN tidak Jebol justru saya jadi bertanya: dimana sisa uang keuntungan SBY jual BBM Sebesar Rp. 97,955 trilyun, itu baru hitungan 1 tahun. Dimana uang rakyat yang merupakan keuntungan SBY jual BBM selama 7 tahun kekuasaannya?

JANGAN MAU DIBOHONGI LAGI, mohon bantu berikan penyadaran kepada rakyat, tolak kenaikan BBM, Tolak BLT sebab itu adalah akal muslihat agar subsidi dicabut akibatnya SBY UNTUNG RAKYAT BUNTUNG!

Jakarta 16 Maret 2012
Salam Juang

Rieke Diah Pitaloka

sumber Rieke Diah Pitaloka - Kenaikan Harga BBM: SBY Untung Rakyat Buntungn Harga BBM: SBY Untung Rakyat Buntung

Jumat, 23 Maret 2012

Budaya Siri' Na Pacce/Pesse'


Budaya Siri' Na Pacce/PessE'

Budaya Siri' Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri' na pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya. Istilah siri' na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena siri' na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang 'tabu' bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"

Dari aspek ontologi (wujud) budaya siri' na pacce mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri' na pacce mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri' na pacce merupakan jati diri dari orang-orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideologi siri' na pacce maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri' na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.

Berdasarkan jenisnya siri' terbagi atas 2 yaitu:
  1. Siri' Nipakasiri'
Siri' Nipakasiri' terjadi apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kewajaran. Maka ia atau keluarganya harus menegakkan siri'nya untuk mengembalikan kehormatan yang telah dirampas, jika tidak ia akan disebut "mate siri" atau mati harkat dan  martabatnya sebagai manusia. Bagi orang Bugis dan Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi dari pada menjaga siri'nya, mereka lebih senang mati dari pada hidup tanpa siri'. Mati karena mempertahankan siri' disebut "mate nigollai..mate nisantangngi" yang berarti mati secara terhormat untuk mempertahankan harga diri.
  1. Siri' Masiri'
Siri' masiri' yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri' itu sendiri. Seperti sebuah penggalan syair sinrili' "Takunjunga' bangung turu'.. Nakugunciri' gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia" yang berarti "Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut". Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini.
Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya siri' na pacce terbagi atas 3 yaitu:
  1. Nilai Filosofis.
Nilai Filosofis siri' na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan yang meliputi watak orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.
  1. Nilai Etis.
Pada nilai-nilai etis siri' na pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi: teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan, cinta dan empati.
  1. Nilai Estetis
Nilai estetis dari siri' na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda alam hewani
Budaya siri' na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah calon pemimpin dan pemiliki bangsa ini. Mereka harus memiliki siri' na pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya siri' na pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan yang sedang melanda bangsa ini.

Seorang pemimpin yang memiliki budaya siri' na pacce dalam dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan membawa bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu mendengarkan aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin karena itu sejalan dengan konsep negara kita yaitu Demokrasi.

Kamis, 22 Maret 2012

Asal Usul Nama Sulawesi / Celebes


Asal Usul Nama Sulawesi / Celebes
Sulawesi, adalah nama sebuah pulau yang berada di tengah-tengah Indonesia. Bentuknya cukup unik, seperti huruf K dan dilalui oleh garis meridian 120 derajat Bujur Timur, dan juga terhampar dari belahan bumi utara sampai selatan. Menurut wikipedia, nama Sulawesi kemungkinan berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’ yang menurutnya banyak ditemukan di sekitar Danau Matana. Pada dokumen dan peta lama, pulau ini dituliskan dengan nama ‘Celebes’. Hikayat asal usul nama ‘Celebes’ dalam Bahasa Bugis…

Wettu rioloE, wettu pammulanna engka to macellaE gemme’na, no pole lopinna ri birittasi’E, lokka i makkutana ko to kampongE. To kampong E wettunna ro, na mapparakai lopinna, masolang ngi engsele’na. Na wettunna makkutana i to macella’E gemme’na, to kampong E de’ na pahang ngi, aga hatu na pau. Kira-kira pakkutanana yaro to macella’E gemme’na, mappakkoi: “Desculpar-me, qual é o nome deste local?” Yero to kampongE, naaseng ngi kapang, “agatu ta katenning?”. Mabbeli adani to kampongE, “Sele’bessi”. Pole mappakoni ro, na saba’ asenna ‘Celebes’.

Terjemahan bebas: Pada waktu lampau, pada saat pertama kali rombongan orang yang berambut merah turun dari perahu dan menghampiri penduduk setempat yang sedang bekerja membuat perahu. Pimpinan rombongan tersebut bertanya mungkin dalam bahasa Portugis yang tidak dimengerti, mungkin bertanya ‘Apa nama tempat ini?’ Penduduk yang ditanyai, karena tidak paham, hanya mengira-ngira mungkin dia ditanya benda apa yang sedang dia pegang? Dengan spontan penduduk tersebut menjawab ‘Sele’bessi’ yang artinya engsel besi. Sejak saat itu, pimpinan orang yang berambut merah mencatat lokasi yang mereka datangi bernama daerah ‘Celebes’.

Salah satu ekspedisi ilmiah dunia terkait dengan Sulawesi dilakukan oleh Alfred Russel Wallace yang mengemukakan suatu garis pembatas tentang flora dan fauna yang ada di Indonesia. Juga ekspedisi Snellius (Universitas Leiden) yang mempelajari tentang kondisi bawah permukaan sekitar Sulawesi sampai ke Maluku. Kedua ekspedisi ilmiah pada zaman tersebut menggunakan nama ‘Celebes’.

Yang menarik adalah masyarakat lokal pada waktu itu belum menyadari untuk memberikan nama ke pulau tempat mereka berdiam. Sehingga untuk hal ini, Celebes merupakan eksonim untuk pulau yang nyaris berbentuk huruf K ini. Dari Celebes ini kemudian berevolusi menjadi ‘Sulawesi’ yang menjadi endonim sampai saat ini.
............................................................................................................................
Pada lambang daerah Sulawesi Selatan ada tulisan lontara berbahasa Makassar.

Tertulis: "Kualleangi Tallanga Natowalia" dibawah gambar perahu khas Phinisi
Lalu diterjemahkan bebas menjadi : "Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai"

Namun arti sebenarnya kata "Kualleangi Tallanga Natowalia" adalah "Lebih Kupilih Tenggelam (di lautan) daripada Harus Kembali Lagi (ke pantai)".

Sulawesi sendiri dulu disebut Celebes oleh Belanda. konon berasal dari kata Sele' Bessi (badik besi - bahasa bugis).

Konon dahulu waktu orang Portugis datang, dia bertemu dengan seorang pribumi yang sedang attompang sele' alias badik (merawat badik dengan menggunakan jerus nipis)*.

Ketika itu orang Belanda bertanya: "Apa nama daerah ini?"
Tapi karena bahasanya kurang nyambung, pribumi yg ditanya mengira dia ditanya "apa nama benda yg kamu pegang itu?"
Maka dengan enteng Sang Pribumi menjawab: "Sele' Bessi"

Nah... dari kata Sele' Bessi inilah terbentuk kata Celebes alias Sulawesi...
,...........................................................................................................................
Dulu ada Pelaut Portugis yang Singgah di Makassar dan Menemui Raja Gowa untuk meminta Izin berlayar sekaligus menanyakan nama Daerah ini, tetapi pada saat orang Portugis itu Menghadap ke Hadapan Raja, Raja sedang Membersihkan Sele'nya (Kerisnya), Nah pada saat itu Orang Portugis Bertanya kepada Sang Raja dengan bahasa Portugis bahwa daerah ini namanya Apa???, karena Sang Raja tidak mengerti Bahasa Portugis, maka sang Raja hanya Memperkirakan arti pertanyaan itu, Sang Raja memperkirakan bahwa orang Portugis ini sedang mempertanyakan apa nama Benda yang ada di Tangan Sang Raja, maka Sang Raja pun menjawabnya dengan SELE' BASSI. singkat cerita Orang Portugis ini pun mencatat nama SELE' BASSI itu untuk menamai daerah kita, dan mereka lebih mudah menyebut SELE' BASSI dengan sebutan CELEBES.

Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung


NAMPAKNYA seperti dikatakan oleh dua baris akhir sebuah soneta Shakespeare, so long as men can breathe or eyes can see,/so long lives this, and this gives lives to thee, orang Bugis sejak lama telah menyadari signifikansi puisi. Misalnya saja dengan membuat aturan-aturan tertentu untuk memahami sebuah bait élong maliung bettuanna. Aturan-aturan khusus itulah yang membuat genre puisi ini menjadi sangat unik dan menarik. Tidak saja dalam élong maliung bettuanna, tetapi begitu banyak karya-karya penting, pendek maupun panjang, ditulis menggunakan puisi.
Tak banyak peminat dan sarjana sastra yang membahas jenis puisi élong maliung bettuanna mungkin dikarenakan dua faktor penting yang sama-sama susah dipahami; matra dan archaic vocubulary yang digunakan. Secara harafiah, élong maliung bettuanna berarti ‘lagu yang dalam maknanya’ (maliung berarti ‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’). Dengan kata lain, élong ini adalah puisi dengan makna tersembunyi. Sebagaimana jenis élong lain, élong maliung bettuanna pun menggunakan simbol, matra dan bentuk khas. Tetapi jenis élong ini memiliki satu perbedaan yakni penggunaan crypto-language yang sangat khas yang disebut Basa to Bakke’.
Basa to Bakke’ secara harafiah berarti ‘bahasa orang-orang Bakke’’. Sebenarnya penamaan ini merujuk kepada seseorang bernama Datu Bakke’, Pangeran dari Bakke’, yang dikenang karena kecerdasan dan keintelektualannya. Nama orang ini banyak disebut-sebut dalam literatur sejarah Bugis, utamanya Soppeng. Bakke’ sendiri adalah nama sebuah daerah di Soppeng, Sulawesi Selatan. Bisa terjadi kesalahpengertian di sini, sebab seolah-olah ada bahasa lain selain bahasa Bugis yang digunakan dalam puisi Bugis ini. Sehingga sesungguhnya Basa to Bakke lebih cocok diartikan sebagai permainan bahasa Bakke’.
Basa to Bakke’ menjadi ciri khas dalam puisi teka-teki Bugis atau élong maliung bettuanna ini. Sangat berlainan dengan pantun teka-teki yang hanya menggunakan simbol untuk menyembunyikan jawaban, teka-teki élong maliung bettuanna tersembunyi di balik tiga lapis sarung. Untuk tiba pada makna sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tiga lapis sarung itu harus disingkap satu per satu.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk di hidung ?
Bandingkan pantun di atas dengan sebuah teka-teki a la puisi Bugis yang dikutip dari Tol dkk (1992:85) berikut ini:
Kégana mumaberrekkeng,
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
(Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
Tentu tak susah menemukan jawaban teka-teki pantun di atas. Pantun itu adalah teka-teki Budi di buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk murid Kelas III Sekolah Dasar zaman orde baru. Tetapi bagaimana menemukan ‘jawaban’ teka-teki Bugis di atas? Sebenarnya puisi itu ingin menyampaikan makna: ‘mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’.
Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki beberapa keunikan dibandingkan, misalnya, dengan aksara Latin. Aksara Bugis, sebagaimana kebanyakan aksara di Asia, memiliki kecacatan. Kekurangan yang sekaligus bisa jadi kelebihan itu di antaranya adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Aksara Bugis, nyaris sama dengan aksara Jepang, setiap hurufnya adalah satu suku kata (syllabel). Satu silabel dalam aksara Bugis bisa dibaca dengan berbagai cara. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca /pa/, /ppa/, /pang/, /ppang/, /pa’/, atau /ppa’/. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam élong maliung bettuanna.
Dalam satu élong yang disebutkan tadi, sarung pertama yang harus disingkap untuk menemukan jawabannya telah dilakukan dengan memperlihatkan arti puisi itu. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan (frase). Ada dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’édé dan lompu’ walennaé. Buaja bulu’édé berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennaé berarti ‘lumpur sungai’.
Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari frase yang telah ditemukan. Dalam penyingkapan sarung kedua ini, memang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan dan alam pikiran budaya Bugis. Buaja bulu’édé (buaya gunung) dalam budaya Bugis merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannaé (lumpur sungai) menunjuk kepada kessi’ (pasir).
Jika hanya sampai di sini, puisi itu akan berarti ‘mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tentulah ini akan menjadi sebuah pernyataan yang tidak logis. Tetapi memang bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Masih ada satu lapis sarung yang harus disingkapkan. Di tahapan inilah permainan bahasa tadi digunakan. Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’ (pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis /ma-ca/ (ingat, tak ada final velar nasals dan geminated consonant dalam aksara Bugis) dan /ke-si/ (ingat juga tak ada glottal stop).
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, (perempuan) cerdas atau (perempuan) cantik?’.
Perhatikan satu contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjékko,
Anré-anréna to Menre’é,
aténa unnyié.
(Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.)
Puisi teka-teki yang berarti ‘aku mencintaimu’ ini bisa disingkap jawabannya dengan cara yang sama. Gellang riwata’ majjékko merujuk kepada méng (kail), anré-anréna to Menre’é merujuk kepada loka (pisang)—konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan aténa unnyié merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca mélo’ ka ridi yang artinya ‘aku mencintaimu’.
Tiga lapis sarung itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; sarung pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan atau sampiran dan bunyi. Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali sampiran itu; gellang riwata majjékko, anré-anréna to Menre’é, dan aténa unnyié. Sampiran dari frase itu, secara berurutan masing-masing; méng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua adalah bunyi méng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis sarung selanjutnya untuk menemukan makna (isi), bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis /me/, bunyi loka ditulis /lo-ka/, dan bunyi ridi ditulis /ri-di/. Untuk menemukan makna élong semua bunyi itu dirangkai menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi mélo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.
Jika dalam pantun baris pertama-kedua adalah sampiran dan baris ketiga-keempat adalah isi, maka dalam élong maliung bettuanna bunyi (lapis kedua) yang menjadi sampiran sekaligus petunjuk untuk masuk ke lapis selanjutnya yaitu isi.
Jika disederhanakan, rumus tiga lapis sarung untuk menyingkap makna élongmaliung bettuanna di atas bisa menjadi: (1) frase, (2) bunyi, dan (3) makna.
Lihat contoh berikut ini:
Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’édé,
bali ulu balé.
(Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.)
Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti ’saya tak suka padamu’. Makna itu ditemukan dari rangkaian kata téng, awa, dan ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/, ‘aku tidak mau atau benci padamu’. Frase élong itu adalah inungeng mapekke-pekke, balinna ase’édé, dan bali ulu balé. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah téng (teh), awa (bawah), dan ikko (ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga terbaca téawa (r)iko, ‘aku tak suka padamu’.
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang bahasa sehari-hari. Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di balik makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih. Tuntutan-tuntutan semacam itu tentu lebih longgar pada genre lain seperti prosa (cerita pendek dan novel).
Selain puitis, élong maliung bettuanna juga memang kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan rumusnya, puisi ini tidak akan serumit yang kita duga. Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dulu) menyembunyikan maksudnya di balik berlapis-lapis sarung.

Raja Malaysia keturunan Bugis

Raja Bugis Malaysia

Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Sultan Mizan Zainal AbidinKerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.
Hal itu terungkap pada Seminar Penelusuran Kerabat Raja Bugis, Sulsel dengan raja-raja Johor-Riau-Selangor, Malaysia, di Makassar, Rabu.
“Berdasarkan hasil penelusuran silsilah keturunan dan tinjauan arkeologi diketahui, 14 provinsi di Malaysia, sembilan diantaranya diperintah oleh raja yang bergelar datuk (dato`) atau sultan, sedang empat provinsi lainnya diperintah gubernur yang bukan raja,” kata Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka.
Menurut dia, dari segi silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahannya itu, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.
Sebagai contoh, lanjutnya, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerjaan Luwu, Sulsel.
Merujuk Lontar versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.
Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja.
“Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase,” paparnya sembari menambahkan, putra-putra inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.
Lebih jauh dijelaskan, dengan penelusuran sejarah dan silsilah keluarga itu, diharapkan dapat lebih mendekatakan hubungan antara kedua rumpun Melayu yakni Melayu Selangor dan Bugis.
Menurut Moh Jusoff, dari segi kedekatan emosional, silsilah dan genesitas komunitas di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, belum bisa merambah ke persoalan politik karena ranah politik Malaysia berbeda dengan politik Indonesia termasuk mengenai tata pemerintahan dan kemasyarakatannya.
Sementara itu, Andi Ima Kesuma,M.Hum, pakar kebudayaan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga Kepala Museum Kota Makassar mengatakan, kekerabatan keturunan raja-raja di Malaysia dan raja-raja Bugis di Sulsel tertuang dalam Sure` Lagaligo maupun dalam literatur klasik lainnya.
“Hanya saja, gelaran yang dipakai di tanah Bugis tidak lagi digunakan di lokasi perantauan (Malaysia) karena sudah berasimilasi dengan situasi dan kondisi di lokasi yang baru,” katanya.
Gelar Opu dang Karaeng yang lazim digunakan bagi keturunan raja rai Luwu dan Makassar tidak lagi dipakai di Malaysia melainkan sudah bergelar tengku, sultan atau dato`
Sumber : Antara