NAMPAKNYA seperti dikatakan oleh dua baris akhir sebuah soneta Shakespeare, so long as men can breathe or eyes can see,/so long lives this, and this gives lives to thee,
orang Bugis sejak lama telah menyadari signifikansi puisi. Misalnya
saja dengan membuat aturan-aturan tertentu untuk memahami sebuah bait élong maliung bettuanna. Aturan-aturan khusus itulah yang membuat genre puisi ini menjadi sangat unik dan menarik. Tidak saja dalam élong maliung bettuanna, tetapi begitu banyak karya-karya penting, pendek maupun panjang, ditulis menggunakan puisi.
Tak
banyak peminat dan sarjana sastra yang membahas jenis puisi élong
maliung bettuanna mungkin dikarenakan dua faktor penting yang sama-sama
susah dipahami; matra dan archaic vocubulary yang digunakan. Secara harafiah, élong maliung bettuanna berarti ‘lagu yang dalam maknanya’ (maliung berarti ‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’). Dengan kata lain, élong ini adalah puisi dengan makna tersembunyi. Sebagaimana jenis élong lain, élong maliung bettuanna pun menggunakan simbol, matra dan bentuk khas. Tetapi jenis élong ini memiliki satu perbedaan yakni penggunaan crypto-language yang sangat khas yang disebut Basa to Bakke’.
Basa to Bakke’
secara harafiah berarti ‘bahasa orang-orang Bakke’’. Sebenarnya
penamaan ini merujuk kepada seseorang bernama Datu Bakke’, Pangeran dari
Bakke’, yang dikenang karena kecerdasan dan keintelektualannya. Nama
orang ini banyak disebut-sebut dalam literatur sejarah Bugis, utamanya
Soppeng. Bakke’ sendiri adalah nama sebuah daerah di Soppeng, Sulawesi
Selatan. Bisa terjadi kesalahpengertian di sini, sebab seolah-olah ada
bahasa lain selain bahasa Bugis yang digunakan dalam puisi Bugis ini.
Sehingga sesungguhnya Basa to Bakke lebih cocok diartikan sebagai
permainan bahasa Bakke’.
Basa to Bakke’ menjadi ciri khas dalam puisi teka-teki Bugis atau élong maliung bettuanna ini. Sangat berlainan dengan pantun teka-teki yang hanya menggunakan simbol untuk menyembunyikan jawaban, teka-teki élong maliung bettuanna
tersembunyi di balik tiga lapis sarung. Untuk tiba pada makna
sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tiga lapis sarung
itu harus disingkap satu per satu.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk di hidung ?
Bandingkan pantun di atas dengan sebuah teka-teki a la puisi Bugis yang dikutip dari Tol dkk (1992:85) berikut ini:
Kégana mumaberrekkeng,
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
(Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
Tentu
tak susah menemukan jawaban teka-teki pantun di atas. Pantun itu adalah
teka-teki Budi di buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk murid Kelas III
Sekolah Dasar zaman orde baru. Tetapi bagaimana menemukan ‘jawaban’
teka-teki Bugis di atas? Sebenarnya puisi itu ingin menyampaikan makna:
‘mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’.
Bagi
yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki
beberapa keunikan dibandingkan, misalnya, dengan aksara Latin. Aksara
Bugis, sebagaimana kebanyakan aksara di Asia, memiliki kecacatan.
Kekurangan yang sekaligus bisa jadi kelebihan itu di antaranya adalah
tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Aksara Bugis, nyaris sama dengan aksara Jepang, setiap hurufnya adalah satu suku kata (syllabel).
Satu silabel dalam aksara Bugis bisa dibaca dengan berbagai cara.
Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca /pa/, /ppa/,
/pang/, /ppang/, /pa’/, atau /ppa’/. Keunikan aksara Bugis inilah yang
dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam élong maliung bettuanna.
Dalam satu élong
yang disebutkan tadi, sarung pertama yang harus disingkap untuk
menemukan jawabannya telah dilakukan dengan memperlihatkan arti puisi
itu. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan (frase). Ada
dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’édé dan lompu’ walennaé. Buaja bulu’édé berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennaé berarti ‘lumpur sungai’.
Setelah
mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan
dari frase yang telah ditemukan. Dalam penyingkapan sarung kedua ini,
memang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan dan alam pikiran budaya
Bugis. Buaja bulu’édé (buaya gunung) dalam budaya Bugis merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannaé (lumpur sungai) menunjuk kepada kessi’ (pasir).
Jika
hanya sampai di sini, puisi itu akan berarti ‘mana yang lebih kau suka,
macan atau pasir?’ Tentulah ini akan menjadi sebuah pernyataan yang
tidak logis. Tetapi memang bukanlah itu yang sesungguhnya ingin
disampaikan puisi tersebut. Masih ada satu lapis sarung yang harus
disingkapkan. Di tahapan inilah permainan bahasa tadi digunakan. Dalam
tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’ (pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis /ma-ca/ (ingat, tak ada final velar nasals dan geminated consonant dalam aksara Bugis) dan /ke-si/ (ingat juga tak ada glottal stop).
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, (perempuan) cerdas atau (perempuan) cantik?’.
Perhatikan satu contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjékko,
Anré-anréna to Menre’é,
aténa unnyié.
(Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.)
Puisi teka-teki yang berarti ‘aku mencintaimu’ ini bisa disingkap jawabannya dengan cara yang sama. Gellang riwata’ majjékko merujuk kepada méng (kail), anré-anréna to Menre’é merujuk kepada loka (pisang)—konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan aténa unnyié
merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam
aksara Bugis akan menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian huruf ini bisa
juga dibaca mélo’ ka ridi yang artinya ‘aku mencintaimu’.
Tiga
lapis sarung itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; sarung
pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan atau sampiran dan bunyi.
Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase
untuk mengenali sampiran itu; gellang riwata majjékko, anré-anréna to Menre’é, dan aténa unnyié. Sampiran dari frase itu, secara berurutan masing-masing; méng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua adalah bunyi méng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis sarung selanjutnya untuk menemukan makna (isi), bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis /me/, bunyi loka ditulis /lo-ka/, dan bunyi ridi ditulis /ri-di/. Untuk menemukan makna élong semua bunyi itu dirangkai menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi mélo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.
Jika dalam pantun baris pertama-kedua adalah sampiran dan baris ketiga-keempat adalah isi, maka dalam élong maliung bettuanna bunyi (lapis kedua) yang menjadi sampiran sekaligus petunjuk untuk masuk ke lapis selanjutnya yaitu isi.
Jika disederhanakan, rumus tiga lapis sarung untuk menyingkap makna élongmaliung bettuanna di atas bisa menjadi: (1) frase, (2) bunyi, dan (3) makna.
Lihat contoh berikut ini:
Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’édé,
bali ulu balé.
(Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.)
Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti ’saya tak suka padamu’. Makna itu ditemukan dari rangkaian kata téng, awa, dan ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/, ‘aku tidak mau atau benci padamu’. Frase élong itu adalah inungeng mapekke-pekke, balinna ase’édé, dan bali ulu balé. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah téng (teh), awa (bawah), dan ikko
(ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi
/te-a-wa-(r)i-ko/. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga terbaca téawa (r)iko, ‘aku tak suka padamu’.
Vopel
(1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di
dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness)
dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata
yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang
bahasa sehari-hari. Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi
lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di
tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal
sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat.
Dan yang lebih penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir
tanpa terlihat karena berada di balik makna literal dan atau di balik
bentuk yang dipilih. Tuntutan-tuntutan semacam itu tentu lebih longgar
pada genre lain seperti prosa (cerita pendek dan novel).
Selain puitis, élong maliung bettuanna
juga memang kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan
rumusnya, puisi ini tidak akan serumit yang kita duga. Sungguh, alangkah
pintar orang-orang Bugis (dulu) menyembunyikan maksudnya di balik
berlapis-lapis sarung.