Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan
melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya
atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan
itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan
kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut
kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan
berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui
bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena
bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu
ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang
benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung
unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan
nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang
diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.
Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap
kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi
sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia.
Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai
guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi
yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan
kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk
kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang
sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan
pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan
tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan
selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan
"Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan
perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada
kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya
dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan
pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran
dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan
pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah
pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan,
baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi
karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat
menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun
demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan
secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh
sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak
bertentangan dengan insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau
pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi
sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi
tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada
setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat
dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan.
Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat
manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad
adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan
Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu
dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam
kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti
"kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan.
Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat
namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari
sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin
diketahui manusia dengan cara lain (16:89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia
harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan
Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari
kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang
Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan
hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat
Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan secara singkat; katakanlah : "Dia adalah
Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan.
Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa,
Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha
Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya
bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang
lahir dan Yang Bathin (57:3), dan "kemanapun manusia berpaling maka
disanalah wajah Tuhan" (2:115). Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun
kamu berada" (57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan
adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya;
sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan
kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah
kepada "persetujuan" atau "ridhanya". Inilah kesatuan
antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang
benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan
pasti (6:73, 25:2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan
obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan
daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya
dan teratur secara harmonis (23:14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi
keperluan perkembangan peradabannya (31:20)). Maka alam dapat dan dijadikan
obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku
didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya
sendiri (10:101).
Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama
Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif,
melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada
dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti
dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin
dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam
ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh
manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta
ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (95:4, 17:70).
Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil
Tuhan di bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk
memakmurkannya (11:61). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada
manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia.
Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut
"sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi
pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang
menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda
dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu,
manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak
terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (33:72). Ketidakpatuhan
itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan
perkembangan", sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan
pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (29:20).
Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka
satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan
tujuan segala sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus
berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu
berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu
harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (17:72). Dia tidak mesti selalu
mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan
pasti akan kebenarannya (17:26).
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan
diterangi oleh ilmu (58:11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang
wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk
mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi
tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin,
manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa
melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif
sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian
atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan
(sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha
Esa (41:37).
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik"
artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka
jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban
kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat".
Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah
atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari
agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja
(1:4, 22:56, 40:16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti
kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan
jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala
perbuatannya dahulu didalam sejarah (2:48). Selanjutnya kiamat merupakan "hari
agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang
diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan
akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadian-kejadiannya (7:187).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar